Follow Us On Facebook

Pages

Woensdag 31 Oktober 2012

Misteri Mati Suri Dalam Kacamata Fisika Kuantum

Apa yang terjadi ketika seseorang mengalami kondisi hampir mati?

(ilustrasi) melalui terowongan gelap menuju cahaya terang saat mati suri | Viva.co.id
Perasaan tenang luar biasa, melihat cahaya terang menyilaukan entah dari mana, jiwa yang terlepas sesaat dari raga, memasuki sebuah dimensi lain, atau berjalan di kegelapan terowongan menuju cahaya di ujungnya. Atau mungkin berkomunikasi dengan roh, yang memintanya kembali ke raganya, untuk hidup kembali.

Pengalaman mati suri (near death experience) memiliki pola yang berbeda untuk setiap orang yang mengalaminya. Juga ragam penjelasan, dari psikologis hingga menurut keyakinan masing-masing.

Teori baru ditawarkan oleh dua ilmuwan fisika kuantum ternama. Menurut mereka, pengalaman hampir mati terjadi ketika zat yang membentuk jiwa manusia terlepas dan meninggalkan sistem syaraf, memasuki alam semesta.

Berdasar pada ide ini, kesadaran (consciousness) sejatinya dianggap sebagai sebuah program komputer kuantum dalam otak, yang bisa tetap bertahan di alam semesta bahkan setelah kematian. Ini menjelaskan persepsi sejumlah orang yang pernah mengalami mati suri.

Adalah Dr Stuart Hameroff, Profesor Emeritus pada Departemen Anestesi dan Psikologi dan Direktur Pusat Studi Kesadaran University of Arizona, yang mengembangkan teori kuasi-relijius ini.

Hameroff seperti dikutip Daily Mail, mendasarkan teorinya pada teori kuantum kesadaran yang ia kembangkan bersama fisikawan Inggris, Sir Roger Penrose yang menyatakan, esensi dari jiwa kita terkandung dalam strukstur yang disebut mikrotubulus (jamak: mikrotubula) yang berada dalam sel-sel otak.

Mereka berpendapat, pengalaman kesadaran kita adalah hasil dari efek gravitasi kuantum dalam mikrotubula. Sebuah teori yang mereka sebut sebagai pengaturan pengurangan obyektif (Orch-OR).

Dengan demikian, menurut teori ini, jiwa kita lebih dari sekadar interaksi antar neuron pada otak. Melainkan susunan yang terbangun dari intisari alam semesta, dan mungkin telah ada sejak waktu bermula.

Konsep ini agak mirip dengan keyakinan Buddha dan Hindu, bahwa kesadaran adalah bagian integral dari alam semesta. Dan memang mirip dengan filsafat Barat idealis.

Dengan keyakinan itu, Dr Hameroff menyatakan bahwa saat pengalaman hampir mati terjadi, mikrotubula kehilangan kondisi kuantumnya, namun informasi di dalamnya tak lantas hancur. Sebaliknya, ia hanya meninggalkan raga dan kembali ke alam semesta.

"Katakanlah jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, mikrotubulus kehilangan keadaan kuantumnya," kata Dr Hameroff. "Tapi informasi kuantum di dalam mikrotubulus tidak rusak, tak bisa dihancurkan. Hanya didistribusikan dan menghilang ke alam semesta."

Jika pasien tersebut sadar, hidup kembali, informasi kuantum itu juga akan kembali ke mikrotubulus. "Sehingga pasien bisa berkata, 'aku mengalami pengalaman hampir mati'."

Bagaimana jika pasien itu tak pernah tersadar?

"Jika pasien tak sadar dan akhirnya meninggal dunia. Bisa jadi informasi kuantumnya tetap eksis di luar jasadnya, mungkin tanpa batas, sebagai sebuah ruh."

Namun, teori Orch-OR tesebut mendapat kritik keras dari para pemikir empiris, dan terus menjadi perdebatan kontroversial di kalangan ilmuwan.

Fisikawan MIT, Max Tegmark adalah salah satu penentangnya. Ia menerbitkan makalah setebal 2.000 halaman yang mengritik teori tersebut, dan kerap dikutip oleh banyak penentang.

Meski demikian, Dr Hameroff yakin, penelitian fisika kuantum akan menvalidasi Orch-Or. Apalagi efek kuantum kini digunakan untuk menjelaskan banyak proses biologis, seperti bau, navigasi burung, dan fotosintesis.

[ Sumber: teknologi.viva.co.id ]

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking